Tips Menghadapi Perubahan Dalam Hidup – Perubahan iklim diyakini akan berdampak pada dunia pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan kesadaran dan tindakan nyata melalui pendidikan tentang lingkungan hidup, khususnya tentang perubahan iklim, yang diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah.
Siswa SD Negeri 26 Halmahera Selatan bermain di lingkungan sekolah yang rusak akibat abrasi akibat dampak perubahan iklim, Jumat (6/4/2021). Sekolah yang terletak di Desa Sebelei, Makian Barat, Pulau Makian, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara itu, kini hanya berjarak sekitar 3 meter dari bibir pantai. Situasi ini sangat berbahaya bagi siswa.
Dampak perubahan iklim sudah nyata. Kenaikan suhu bumi mulai mempengaruhi kehidupan manusia, dan bencana alam pun semakin sering terjadi. Dengan suhu bumi yang diperkirakan akan meningkat hingga 2,7 derajat Celcius pada akhir abad ini, perubahan iklim diperkirakan semakin mengancam kehidupan manusia di Bumi. Faktanya, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB atau UNESCO pada April 2023 mulai mempelajari dampak perubahan iklim terhadap hak atas pendidikan.
Kami juga menyadari bahwa perubahan iklim telah dan akan berdampak nyata terhadap pendidikan. Masyarakat akan terkena dampak dari semakin panasnya kondisi planet bumi dan terjadinya berbagai bencana alam yang terjadi.
Perpindahan penduduk atau migrasi antar wilayah dan negara dapat terjadi. Padahal, terdapat hak bagi anak dan masyarakat untuk terus memperoleh layanan pendidikan berkualitas sebagai komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.
Berdasarkan temuan Timothy M. Lenton dari Global System Institute di University of Exeter, Inggris, dan Chi Xu dari School of Life Sciences, Nanjing University, China, serta tim dalam jurnal Nature Sustainability, disebutkan bahwa suhu global yang terus memanas akan mempersempit ruang hidup manusia di Bumi. Dengan suhu bumi yang diperkirakan akan meningkat hingga 2,7 derajat Celcius pada akhir abad ini, para peneliti telah menghitung bahwa setidaknya 2 miliar orang akan tinggal di zona yang terlalu panas dan sulit untuk ditinggali.
Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan jumlah penduduk paling berisiko terkena paparan kenaikan suhu global. Lebih dari 100 juta orang akan hidup di luar “ceruk iklim manusia”.
Oleh karena itu, pendidikan tentang lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim, dianggap penting untuk membantu masyarakat memahami dan mengatasi dampak krisis iklim, memberdayakan mereka dengan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap yang diperlukan untuk bertindak sebagai agen perubahan. Hal ini diprakarsai oleh UNESCO melalui Education for Sustainable Development (ESD) sebagai respon sektor pendidikan terhadap tantangan mendesak dan dramatis yang dihadapi planet ini.
Aktivitas manusia secara kolektif telah mengubah ekosistem bumi sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup kolektif terancam karena perubahan tersebut semakin sulit untuk dibalik seiring berjalannya waktu. Menghentikan pemanasan global sebelum mencapai tingkat bencana berarti mengatasi permasalahan lingkungan, sosial dan ekonomi secara holistik. Program pendidikan ESD UNESCO bertujuan untuk mewujudkan transformasi pribadi dan sosial yang diperlukan untuk mengubah arah.
Namun, dalam publikasi UNESCO pada tahun 2021, Mempersiapkan Setiap Sekolah untuk Iklim: Bagaimana Negara Mengintegrasikan Perubahan Iklim ke dalam Pendidikan, hampir setengah, atau 47 persen, dari kerangka kurikulum di 100 negara yang ditinjau tidak menyebutkan perubahan iklim. Pihak lain menyebutkan perubahan iklim dalam dokumen tersebut, namun kedalaman pencantumannya biasanya sangat minim.
Dalam tinjauan terhadap profil 20 negara mengenai komunikasi dan pendidikan perubahan iklim, ditemukan bahwa 90 persen upaya tersebut sebagian besar terfokus pada pendidikan dasar dan menengah. Hanya sedikit negara yang memiliki kerangka kerja untuk mendukung pendidikan perubahan iklim dalam pendidikan dan pelatihan teknis dan kejuruan (70 persen), pendidikan tinggi (70 persen), serta pendidikan dan pelatihan guru (55 persen).
Guru yang berperan penting dalam memperkenalkan pendidikan perubahan iklim umumnya merasa penting atau sangat penting untuk mengajarkan tentang parahnya perubahan iklim dan dampaknya. Namun, kurang dari 40 persen guru merasa yakin dengan pengajaran mereka dan hanya sekitar sepertiganya merasa mampu menjelaskan dengan baik dampak perubahan iklim terhadap wilayah atau lokasi mereka.
Kepercayaan diri guru dalam mengajar tentang perubahan iklim masih pada dimensi kognitif, hanya sekitar seperlima yang mampu menjelaskan dengan baik bagaimana harus bertindak. Faktanya adalah hanya 55 persen guru yang melaporkan telah menerima pelatihan, baik pra-jabatan maupun selama masa jabatan, mengenai perubahan iklim atau gaya hidup berkelanjutan. Kurang dari 50 persen mengatakan sekolah mereka mempunyai rencana aksi iklim.
Rendahnya kesadaran terhadap isu perubahan iklim di bidang pendidikan membuat generasi muda Indonesia yang tergabung dalam koalisi Climate Education Now 2021 mengajukan petisi atau permintaan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Hari Pelajar Internasional 2021. ) untuk mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam kurikulum sekolah. Sebab, dampak krisis iklim sudah mulai terasa, namun pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran dan mendorong aksi nyata terhadap isu lingkungan hidup masih minim.
Dampak krisis iklim sudah terasa, namun pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran dan mendorong tindakan nyata terhadap isu lingkungan masih minim.
Hal ini sejalan dengan hasil Asesmen Nasional Tahun 2021 yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengukur moralitas terhadap alam, yaitu minat terhadap isu keberlanjutan, partisipasi dalam kegiatan konservasi, dan rasa keterhubungan siswa dengan alam. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa secara umum kesadaran masih dalam kategori pembangunan, belum mengakar, kecuali di beberapa tempat seperti DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang dampak gas rumah kaca pada siswa sekolah menengah di Indonesia relatif rendah dibandingkan negara lain. Begitu pula yang berkaitan dengan kepunahan tumbuhan dan hewan, penggundulan hutan akibat perubahan penggunaan lahan dan pencemaran udara.
Untuk membantu peran guru dalam pendidikan perubahan iklim di ruang kelas, Indonesia mendukung konferensi bertajuk Konferensi Virtual tentang Perubahan Iklim (CCE): Kolektif dan Upaya untuk Bumi kita pada awal tahun 2022. Konferensi ini diluncurkan oleh Yayasan Saka Guru Pratama. , Kantor Perubahan Iklim dan SEAMEO Qitep dalam Sains.
Demonstrasi perubahan iklim global di depan Balai Kota Jakarta, Jumat (20 September 2019). Ratusan hingga ribuan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari usia sekolah hingga profesional, mengikuti kegiatan ini.
Forum ini memberikan dukungan bagi guru untuk mengembangkan topik perubahan iklim secara profesional dan berkelanjutan serta metode penerapan pendidikan perubahan iklim di kelas. Selain itu, generasi muda harus dilibatkan dalam diskusi ini karena mereka adalah agen perubahan yang melalui berbagai tindakan dapat secara efektif meningkatkan mitigasi perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, pengambil kebijakan didorong untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung implementasi pendidikan perubahan iklim.
Meski pendidikan perubahan iklim belum meluas, namun mulai tahun 2018, kesadaran bumi dan perubahan iklim mulai diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar melalui konten komik majalah sains Quark. Bersamaan dengan kegiatan tahunan Quark Science Olympiad (OSK) “Aku Berani Belajar Menjelajah dan Bertindak untuk Bumi”, para finalis dari daerah di Indonesia menciptakan proyek sains dengan aksi nyata.
Arfa Natta Hadyatama, Finalis Level 3 (Kelas V-VI SD) OSK 2023 Sekolah Islam Al Jannah, Alam, Sains bersama teman sekolahnya sebagai kolaborator Kenzie Ahmad Fadhilah dan Atharrahyan Farzan Aransha Warman terinspirasi dari beberapa isi majalah sains Quark seperti misi penghematan bank oksigen dan air bersih akan menjadi komoditas langka di masa depan yang mampu mengatasi permasalahan sampah.
Siswa sekolah dasar mengunjungi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang dan membandingkannya dengan pengelolaan sampah organik di Desa Celuk, Bali. Arfa pun mengajak teman-temannya untuk merancang konsep TPA seluler yang terinspirasi dari Thebes modern di desa Celuk, Bali.
Siswa Sekolah Dasar (SD) se-Provinsi Kudus, Jawa Tengah yang mengikuti Quark Science Olympiad 2018 diajak untuk peduli terhadap isu perubahan iklim. Siswa membawa botol air minum yang dapat digunakan kembali sebagai kegiatan nyata untuk mengatasi masalah pengurangan dampak perubahan iklim.
Sebagai ilmuwan, mereka melakukan pengujian sampel, mempelajari literatur, atau mengumpulkan data sampah di website Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menemukan bahwa sampah organik dari rumah tangga merupakan jenis sampah yang dominan dibuang, meskipun dapat dimanfaatkan. Kuncinya dimulai dengan penyortiran.
Arfa dan kawan-kawan mencoba menyimpan sampah organik di setiap sel, lalu ada instalasi metana yang menyalurkan metana tersebut ke pembangkit listrik. Air lindi juga dialirkan agar tidak sampai ke permukaan tanah. Bambu ditanam di sekeliling bumi untuk membersihkan udara.
Pada tingkat 2 (kelas 3-4 SD), tim SD Kids Republic yaitu Anya Raisa Kusuma bersama rekannya Adhyasta Rafandra Badri dan Azzale Malaika Rizki menemukan kegiatan yang tepat untuk melakukan kampanye hemat listrik. Berdasarkan pengamatan mereka, mereka menemukan bahwa ketika ruang kelas kosong, AC, proyektor, speaker dan listrik masih menyala meskipun tidak digunakan.
Anya juga meluncurkan kampanye hemat listrik untuk setiap kelas. Kelas yang telah mendapatkan pelatihan tentang kebiasaan positif menghemat listrik akan mendapat tempelan kertas di pintu yang berisi cara menghemat listrik. Lalu dari situlah muncul tantangan lintas kelas.
“Karena itu, kebiasaan hemat listrik meningkat pasca kampanye. “Ada skor nol hingga 88 setelah kampanye,” kata Anya.
General Manager Kelas Kuark Lentera, Saktiana Dwi Hastuti, mengatakan Majalah Kuark Science sebagai mitra pendidikan iklim di Indonesia terus mendorong literasi sains tentang Bumi dan perubahan iklim di kalangan guru, siswa, dan orang tua. Tahun ini, masing-masing finalis dapat mengundang dua kolaborator untuk membuat proyek ilmiah berupa aksi nyata untuk mengatasi permasalahan bumi di sekitarnya. Dari 1.000 finalis ditambah dua kontributor, dapat mencakup 3.000 siswa dan 1.000 guru/orang tua. “Kami ingin mendorong anak-anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk bersama-sama memecahkan permasalahan di sekitar mereka,” kata Sakti di Jakarta, Sabtu (03/06/2023).
Pembelajaran proyek merupakan salah satu fokus kurikulum Merdeka. Siswa SMA Negeri 5 Jayapura, Papua, terlihat melakukan proyek pembelajaran profil siswa Pancasila yang menggali kearifan lokal makanan khas Papua.
Kesadaran akan tantangan planet bumi kini juga diperkuat dalam Kurikulum Merdeka. Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Evaluasi Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Anindito Aditomo mengatakan melalui pengembangan proyek profil siswa Pancasila (P5), sekolah dapat membuat proyek yang bertemakan lingkungan hidup, perubahan iklim. atau gaya hidup berkelanjutan, yang mana